Kami Mendaki Gunung Karena Menghargai Hidup

8 01 2013

Kami Mendaki Gunung Karena Menghargai Hidup

Selamat siang teman-teman Sebuah Catatan Kecil. Apa kabar dunia hari ini, tetap asyik,,??

Mungkin ini hanya sebuah catatan yang dicopy dari website atau blog tetangga sebelah, tetapi kenapa tidak kalau catatan ini bisa memberi motivasi dan inspirasi bagi teman-teman yang mungkin belum pernah membaca catatan ini.

Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.

Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”

Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!

Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.

Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang – orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!! Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.

Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia.

Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.

Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.

Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.

Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.

Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian.

Saya sendiri mengenal naik gunung sejak tahun 1992, ketika saya masih menjadi anggota muda di Palagga (Pecinta Alam Anak Gunung Galuh), saat itu saya masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Pendakian pertama saya ke gunung Merbabu di Jawa Tengah alhamdulillah bisa dijalani dengan baik, selanjutnya ke G. Ciremay di Jawa Barat, G. Merapi di Jawa Tengah, G. Gede dan G. Pangrango di Jawa Barat, G. Galunggung di Jawa Barat, serta penjelajahan pegunungan Syawal di Ciamis Jawa Barat.

Saya naik gunung bukan untuk menaklukan puncak gunung, tetapi saya selalu ingin merasakan “sesuatu” yang hanya bisa diperoleh dan dirasakan saat berada di puncak gunung, sesuatu yang hanya bisa dirasakan tapi susah untuk diungkapkan,  mungkin setiap orang yang pernah mencapai puncak gunung merasakan sesuatu yang sama atau berbeda.

Rencananya saya ingin sekali mencapi puncak abadi para dewa, gunung tertinggi di pulau Jawa, gunung Semeru di Jawa Timur, kalau gak ada halangan berarti dan jika Tuhan mengijinkan akan dilaksanakan sekitar pertengahan bulan Mei 2013, menurut informasi pada saat itu panorama gunung Semeru sedang dalam puncaknya, semoga,,,


Aksi

Information

4 responses

11 01 2013
nizwa11

saya juga ingin sekali ke g semeru rencanaya april ingin sekali ke sana tapi belum ada temen yg mau di ajak,,,

12 01 2013
woyzer

Selamat pagi teman Nizwa. Terimakasih komennya.
Kalau kamu memang mau naik gak usah bingung gak ada teman, karena di sana juga pasti akan menemukan teman untuk naik bareng, saya juga pernah pergi sendiri saat ke gunung Merbabu, ternyata di pos pendaki Garung sangat banyak teman yang bisa untuk dijadikan teman saat mendaki, yang pasti persiapkan fisik dan mental anda, selain membawa ktp/surat identitas lainnya, juga membawa surat izin/rekomendasi dari organisasi tempat asal anda, serta surat keterangan sehat dari dokter. selamat berpetualang!

12 01 2013
nizwa11

o ya makasih ya infoya solaya aku belum pernah naik gunung aku orang jawa timur aja jadi deket sama malang..
mudah mudahan april bisa terwujud ke g semeru…

13 01 2013
woyzer

Sama2 terimakasih.
Saya rencana mau ke Semeru pertengahan Mei, katanya pemandangannya sedang bagus-bagusnya.